Andaikata pengadilan secara administrasi tidak tahu perihal keabsahan anjuran yang dilampirkan karena tidak memenuhi syarat hukum, maka dalam konteks pemeriksaan perselisihan hubungan industrial, pejabat administrasi negara di tempat terjadinya perselisihan dapat dikatakan telah melakukan penghinaan terhadap peradilan (Countempt of court). Hakikat countempt of court sejatinya bukan dimaksudkan penghinaan terhadap lembaga dan hakim, namun tersimpan maksud penghinaan terhadap keadilan itu sendiri. Adil pada dasarnya tidak sebatas ouput, tetapi proses untuk melahirkannya juga harus mengakomodasikan nilai-nilai keadilan. Paling tidak, telah terpenuhi syarat proses dengan status yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.
Asumsi hukum dalam penghinaan peradilan ini menempatkan pejabat pemkab Jember sebagai pihak yang patut diduga melakukan. Dalih tidak paham akan hukumnya, tidak membebaskan terduga pelaku lepas dari jerat hukum arena Asas Fiksi Hukum. Pelaku potensial dijerat pidana karena inidikasi memalsukan dokumen anjuran mediator. Pemalsuan demikian merupakan bentuk perbuatan melawan hukum yang diatur dalam Pasal 263 KUHP dan Pasal 381 KUHP baru yang diberlakukan pada 2026. Sementara kerugian sebagai akibat hukum atas putusan pengadilan yang telah menggunakan dokumen mediator palsu juga masuk dalam ranah keperdataan. Cermati Pasal 1365 KUH Perdata.
Pengusaha bisa saja menggugat pejabat pemkab Jember atas putusan pengadilan yang merugikan dirinya karena terbukti dokumen anjuran dibuat dan dikeluarkan oleh pihak yang bukan mediator. Bayangkan, ketika pengusaha telah memberikan hak nominal buruh sebagai akibat PHK atas dasar Putusan Pengadilan yang sebenarnya pemeriksaan pengadilan itu tidak bisa berlangsung karena tidak ada anjuran mediator, pada gilirannya melahirkan kewajiban pengusaha yang seharusnya tidak patut terjadi. Sementara putusan pengadilan hubungan industrial itu telah dinyatakan final dan berkekuatan hukum tetap. Demikian juga sebaliknya, ketika buruh kehilangan hak-haknya atas putusan pengadilan serupa.
Dalam ranah hukum administrasi negara, sebagai ASN juga patut mendapatkan sanksi yang tidak ringan. Tidak saja menyangkut indisipliner, tetapi ‘kecerobohon’ itu menimbulkan akibat hukum lintas institusional yang mendistorsi hak-hak para pihak dalam hubungan kerja. Pejabat adminsitrasi negara dapat dikatakan telah mencemooh keadilan yang seharusnya tidak pantas dilakukan.
Di sinilah urgensi May Day. May Day tidak sebatas rutinitas tahunan. May Day menyimpan makna dan pesan. Bagi pemerintah, May Day merupakan wahana melakukan introspeksi akan arti penting hak konstitusional buruh. Nilai dasar ini urgen agar terus dinyalakan sebagai lentera. Pemerintah memiliki kewajiban asasi. Bagi pengusaha, May Day adalah nasihat akan komitmen normatif dalam hubungan kerja sebagai relasi kontraktual yang melahirkan kontraprestasi. Sedangkan untuk buruh, May Day adalah seruan merapatkan barisan. Melakukan tekanan guna membuka akses pengambilan keputusan untuk dan atas nama kesejahteraan.
Menghadapi fakta-fakta di atas, Pemkab Jember seharusnya menempatkan May Day sebagaimana awam berucap sedia payung sebelum hujan. Sama halnya para medis menasihati, mencegah lebih baik daripada mengobati. Sementara praktisi hukum selalu menekankan bahwa tindakan preventif dapat mengantisipasi timbulnya aksi destuktif. Beragam narasi tersebut dapat merefleksikan momentum May Day dalam konteks faktual di manapun. Terutama di Kabupaten Jember senyampang belum ada gugatan terhadap pejabat daerah akibat kekosongan Mediator Hubungan Industrial. Kekosongan mediator identik dengan amputasi proses hukum. Sampai kapan ?
*)Penulis adalah kolumnis, akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember, Ketua Dewan Pakar ICMI Jember, Mediator Berlisensi MA dan Nominator Dosen Favorit Nasional 2024 Versi Hukumonline