Perintah Bu Mega agar para kader waspada merupakan ekspresi traumatik terhadap diri dan partainya yang menjadi korban represi politik militer. Ia merasa ada "sesuatu" yang mambahayakan bagi keberlangsungan dan kelanjutan partai. Upaya untuk memisahkan rezim Prabowo dan Jokowi, gagal bisa dipahami untuk merajut kerjasama politik yang baik.
Hubungan Prabowo-Jokowi seperti sekeping uang logam yang memiliki dua sisi. Hanya bisa dibedakan tetapi tak bisa dipisahkan. Bu Mega dengan terbuka melakukan oposisi sistemik yang membelah pemerintah daerah pada Prabowo atau Mega. Pembelahan ini kontraproduktif dalam mengkonsolidasikan visi, misi dan program pemerintah pusat dan daerah.
Selain Bu Mega kecewa terhadap penanganan Hasto oleh KPK, ia juga membaca peluang bahwa PDIP tak bakal sendirian menghadap rezim Prabowo. Mahasiswa dan rakyat yang protes terhadap kebijakan penghematan anggaran, segaris dengan perjuangan Bu Mega melawan para begundal Jokowi yang khianat pada partai.
Bu Mega dan mesin PDIP cukup punya jam terbang berada di luar pemerintah dan menjadi kekuatan oposisi yang menjalankan fungsi check and balance. Rupanya pengalaman ini yang menjadi referensi dari sikap oposan kaum Soekarnois terhadap rezim Prabowo.
Keinginan Prabowo untuk merangkul Bu Mega dan PDIP, sepertinya tak bakal tercapai. Ini mengingat perlawanan keras dari keluarga besar PDIP terhadap penegakan hukum dan konstalasi politik beberapa pekan terakhir. Bu Mega murka dan kecewa tak terperikan atas penahanan Hasto.
Sayangnya, manuver Bu Mega meminta kepala daerah tak mengikuti retreat memaksa memunculkan dua situasi bak makan buah simalaka. Pertama, kepala daerah yang berasal dari PDIP yang mengikuti retreat akan dicap membangkang instruktusi harian Ketua Umum. Kedua, kepala daerah yang tak mengikuti retreat akan dicap membangkang terhadap pemerintah pusat.
Oleh karena retreat kepala daerah merupakan program Kementerian Dalam Negeri. Program ini bertujuan untuk pembinaan dan pembakalan kepala daerah dalam menjalankan tupoksi. Mereka dikampkan di Akmil Magelang agar memiliki solidaritas serta bekerjasama dalam pembangunan daerah.
Pemerintah pusat berharap, para kepala daerah di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota dapat membangun sinergi, kolaborasi dan akselerasi pembangunan daerah dalam ruang lingkup pembangunan nasional.
Prabowo tak ingin muncul raja-raja kecil di berbagai pelosok daerah di Tanah Air, yang menentang atau melawan kebijakan pemerintah pusat. Sebab, dalam UU Nomor 23/2014, pemerintah daerah propinsi merupakan wakil dari pemerintah pusat. Dan hubungan pemerintah propinsi terhadap kabupaten/kota bersifat hirarkis.
Maka dari itu, tak boleh ada pembangkangan daerah terhadap pemerintah pusat, bila ini dilakukan berarti menyalahi UU Pemerintah Daerah yang beresiko secara administratif dan pidana.
Bu Mega dan Prabowo harus hati-hati, bila tak ingin timbul kegaduhan politik yang membahayakan pelaksanaan Asta Cita. Kedua tokoh yang pernah bergandengan tangan di Pilpres 2009, mesti sama-sama mengingat pahit getirnya berjuang bersama merebut suara rakyat.
Banyak saran, Bu Mega dan Prabowo harus segera bertemu mencari solusi terbaik atas kesalahpahaman keduanya. Jangan sampai para kader yang menjadi kepala daerah sebagai korban dari kegagalan merumuskan kerjasama politik antara keduanya. Mereka putra putri terbaik bangsa yang bercita-cita untuk mengabdi demi Ibu Pertiwi.
*)Moch Eksan adalah Pendiri Eksan Institute