REVISI KUHAP : BEREBUT KOMPETENSI MENCABUT HAK ASASI

Selasa 25-02-2025,23:34 WIB
Oleh: Oleh: Dr. Aries Harianto, S.H.

UU No.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tengah direvisi. Upaya serupa juga diikuti terhadap UU No.2 Tahun 2002 (UU Polri). Dilakukan saat panggung penegakan hukum dipandang sinis khalayak. Betapa tidak. Global Organize Crime Indexs Tahun 2023 melansir peringkat internasional penegakan hukum di Indonesia berada pada urutan 142 dari 152 negara. Posisi buncit. Bahkan Indeks Rule of Law 2024 yang dirilis World Justice Project, Indonesia mengalami penurunan skor sebesar 0,53 poin dari ranking tahun lalu yang berada di urutan 66 diantara142 negara. 

Musabab lahirnya kenyataan di atas tidak saja bersumber dari aturan, tetapi juga inkonsistensi penegakan terhadap aturan. Inkonsistensi dalam hal ini menyangkut perilaku penegak hukum. Perilaku penegak hukum merupakan komponen yang menentukan efektifitas bekerjanya hukum. Meminjam pemikiran Lawrence M. Friedman bahwa efektifitas bekerjanya hukum ditentukan 3 komponen  yakni materi hukum, penegak hukum dan budaya hukum. Jika materi hukumnya baik, sementara perilaku aparat inkonsisten terhadap tugas pokok yang harus dilakukan, maka output penegakan hukumnya jelek. Sebaliknya, jika materi hukumnya jelek, namun komitmen aparat penegak hukumnya dilandasi integritas, maka potret penegakan hukumnya cenderung baik. 

Konsep berpikir Lawrence M. Friedman menempatkan betapa pentingnya perilaku aparat penegak hukum. Namun demikian, kontrol utama aspek perilaku adalah aturan. Aturan yang terukur, berkepastian dan berorientasi perlindungan berkeadilan. Kepastian merupakan pintu bagi keadilan. Keadilan merupakan puncak tujuan hukum. Hukum secara fungsional untuk manusia. Bukan sebaliknya. 

Berdasarkan referensi di atas dapat dipahami bahwa Revisi KUHAP dan Revisi UU Polri harus beralifiliasi pada kaidah kepastian yang berbasis keadilan. Namun fenomena yang muncul tidak demikian. Keadilan nampak tidak menjadi objek polemik. Hak asasi manusia sebagai garansi yang seharusnya diberikan ruang dalam revisi kedua undang-undang itu tidak menjadi isu utama. Dinegasikan dengan berebut kewenangan antara Kejaksaan dan Kepolisian. Headline revisi terhisap seputar soal hegemoni dan harmonisasi kewenangan. Sub-ordinasi dan independensi. Simpul perdebatan beranjak dari tarik menarik hirarki dan koordinasi otoritas diantara Jaksa dan Polri. Bukan substansi keadilan yang dirindukan oleh para pihak terutama tersangka atau terdakwa dan masyarakat pada umumnya.  

Pemerhati hukum selama ini cukup banyak menyorot Rancangan KUHAP Pasal 111 Ayat (2) dan Pasal 12 Ayat (8) dan (11). Kedua pasal itu dinilai dapat menimbulkan persoalan baru antara kepolisian dan kejaksaan. Disebutkan dalam Pasal 12 ayat (8), jika penyidik tidak menanggapi laporan atau pengaduan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari, maka pelapor atau pengadu dapat mengajukan laporan atau pengaduan itu kepada penuntut umum setempat. Kemudian dikuatkan pada ayat (11) dengan penegasan bahwa jika penyidik dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah menerima permintaan untuk mulai melakukan penyidikan dari penuntut umum tidak melakukan penyidikan, maka pelapor atau pengadu dapat memohon kepada penuntut umum untuk melakukan pemeriksaan dan penuntutan.

Pasal 12 ayat (8) dan (11) secara normatif self contradictory terhadap Pasal 1 angka (2) dan angka (4) perihal rumusan tugas penyidik dan penuntut umum. Penuntut Umum, dalam hal ini jaksa sedangkan Penyidik adalah Polri atau yang diperkenankan oleh undang-undang. Polri dan Jaksa memiliki tupoksi berbeda. Sementara Pasal 12 ayat (8) dan (11) justru memberikan ruang pada Jaksa untuk melakukan tugas penyidikan (kecuali kasus korupsi, pelanggaran HAM berat dan extra ordinary crime). Tumpang tindih kewenangan sebagai legal problem semacam ini pada gilirannya menimbulkan ketidakpastian hukum meskipun aturan dimaksud bersifat imperatif. 

Namun demikian dalam perspektif kontrol guna mengakomodasikan hak-hak pelapor yang selama ini dikecewakan oleh penyidik Polri, konsep pasal 12 ayat (8) dan (11) patut dipertimbangkan kembali sebagai ketentuan guna merawat hak asasi pelapor dan kran alternatif mengatasi kebutuan pelayanan penegakan hukum. Terutama laporan yang ngadat di meja Polri. Artinya potensial bisa diberlakukan dengan catatan adanya penyesuaian rumusan pada Rancangan KUHAP-Pasal 1 – Ketentuan Umum. Munculnya pasal 12 ayat (8) dan (11) sebenarnya refleksi miskinnya kontrol terhadap Polri sebagai garda depan pelayanan publik yang acapkali menoreh kekecewaan pelapor. 

Hal lain yang tidak kalah penting adalah klausul dalam Pasal 111 Ayat (2) RUU KUHAP. Substansinya, jaksa diberi kewenangan untuk mempertanyakan sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan yang dilakukan kepolisian. Soal penangkapan dan penahanan merupakan tugas kepolisian. Apabila hal ini tetap diterapkan, dikhawatirkan akan menimbulkan disharmoni implementasi tupoksi dua lembaga. 

 

Demikian juga soal penahanan. Pada umumnya, penahanan di tahap penyidikan akan diikuti penahanan pada tiap tahapan berikutnya hingga persidangan. Permasalahan lain yang timbul terkait penahanan adalah penahanan yang umum digunakan hanyalan penahanan rutan. Dua jenis penahanan lainnya dalam KUHAP yaitu penahanan kota dan penahanan rumah amat jarang dimanfaatkan. Ini disebabkan masih minimnya pengaturan mengenai dua jenis penahanan tersebut. Penahanan kota dan penahanan rumah tampak tidak meyakinkan bagi penyidik, penuntut umum, dan hakim. Padahal apabila jenis penahanan lain dimanfaatkan akan dapat mengurangi kepadatan jumlah penghuni Rutan dan Lapas. 

Rancangan KUHAP hanya mengatur penahahan rutan. Jenis penahanan lain yakni penahan rumah dan penahanan kota tidak diatur. Ironi. Di satu sisi penahanan dilakukan tanpa menegasikan aspek manusiawi sesorang, sementara di sisi lain kapasitas rutan yang terbatas jutru potensial menimbulkan aspek perlakuan tidak sehat. Kebijakan penahanan di Indonesia sudah terlampau usang dan perlu segera dilakukan pembaharuan.

Revisi KUHAP tidak cukup dilakukan dengan mengedepankan kepastian tupoksi kelembagaan. Kepastian semacam ini tak lebih sebagai refleksi penguatan eksistensi berikut keuntungan dibalik perebutan kompetensi antara Kejaksaan dan Kepolisian. Revisi KUHAP pada hakikatnya restorasi pintu keadilan yang selama ini tersumbat. Jangan sampai lahirnya aturan baru justru melahirkan problema baru yang mengharu biru. 

*) Kolumnis, akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember, Ketua Dewan Pakar ICMI Jember, Mediator Berlisensi MA dan Nominator Dosen Favorit Nasional 2024 Versi Hukumonline

Tags :
Kategori :

Terkait