"Saya senang betul tadi apa yang dibilang oleh Wakapolres, bicara mengenai check and balance. Saya mengambil definisi Dominus Litis yaitu pengendali perkara. Sebenarnya pada batas tertentu itu sekarang sudah berlaku, begitu perkara menurut penyidik polisi sudah selesai dikirim tuh ke jaksa diteliti lalu dikasih petunjuk, kalau belum cukup dikembalikan ke polisi kalau sudah cukup ya sudah P21,"
"Saya setuju dengan Wakapolres kalau kita mengesampingkan check and balance, kita tidak bisa mengontrol dan itu berbahaya," imbuhnya.
Oleh sebab itu kata Margarito, perlu ada formula agar ada keseimbangan antara lembaga penegak hukum di RKUHAP. Penyeimbangan yang menurutnya, tidak memungkinkan tercipta celah satu institusi menjadi tiran terhadap institusi lainnya
"Tidak boleh polisi menjadi tiran terhadap jaksa, tidak boleh jaksa menjadi tiran terhadap polisi. Kalau melihat kontruksi cara berpikir sekarang tampaknya nuansa itu terlihat samar-samar ada di dalamnya (RKUHAP) dan itu berbahaya," tandasnya.
Sementara, Mahrus Sholih seorang jurnalis yang mengikuti diskusi publik tersebut juga mengutarakan kekhawatirannya jika Dominus Litis pada KUHAP benar-benar diterapkan.
APH dalam hal ini polisi dan jaksa pada kasus tertentu menurutnya sama-sama memiliki potensi menyelewengkan kewenangannya. Polisi misalnya, pada proses penyidikan perkara narkoba ada potensi jual beli pasal apakah tersangka akan jadi pemakai atau pengedar, dan itu bisa ditransaksikan.
Sedangkan kejaksaan, kata Mahrus, ruangnya lebih luas. Selain soal penyidikan jual beli tuntutan ada indikasi transaksional mengenai tuntutan menjadi tahanan kota atau tahanan rumah bagi terdakwa.
"Ketika Dominus Litis benar-benar diterapkan pada KUHAP yang baru maka ada kewenangan yang ugal-ugalan yang dimiliki satu institusi tertentu sehingga potensi penyelewengannya menjadi lebih besar," ucap Mahrus.(*)