Keadilan dan Kemanusiaan: Belajar dari Kasus Kakek Masir

Keadilan dan Kemanusiaan: Belajar dari Kasus Kakek Masir

Atik Kristiana, S.H.,--

Keadilan bukan hanya tentang hukum.

Keadilan adalah kemampuan negara dan penegak hukumnya untuk mengenali kemanusiaan.

Kasus Kakek Masir, seorang lansia berusia 71 tahun asal Situbondo, harus menjalani proses hukum di Pengadilan Negeri Situbondo, karena menangkap burung cendet di kawasan Taman Nasional, menghadirkan kegelisahan mendalam bagi rasa keadilan publik.

Kakek Masir melakukan perbuatannya bukan karena keserakahan, melainkan karena tidak ada pilihan lain untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup. Ia tidak hidup sendiri, melainkan bersama istrinya yang juga sudah lanjut usia. Pada usia yang secara hukum dikategorikan sebagai lansia menurut UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, beliau tidak lagi berada dalam posisi produktif untuk bekerja ataupun mudah mendapatkan pekerjaan.

Jika menelisik lebih dalam ke kisi-kisi hati nurani, penegak hukum sejatinya memiliki ruang untuk menggunakan kewenangannya dengan mengedepankan asas oportunitas, diskresi, dan mempertimbangkan kepentingan umum. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Jaksa Penuntut Umum memilih menuntutnya dengan sanksi pidana 2 tahun penjara, dengan menguraikan alasan-alasan normatif berdasarkan asas legalitas semata, tanpa menempatkan perkara ini dalam konteks kemanusiaan dan realitas sosial yang melingkupinya.

Bahkan, dalam pertimbangan tuntutan disebutkan bahwa Kakek Masir sebelumnya pernah melakukan perbuatan serupa pada tahun 2024. Artinya, pada saat itu pun beliau telah berusia 70 tahun—tetap dalam kategori lansia—dan motifnya pun sama: untuk makan.

Menurut saya, Kakek Masir bukan sedang melanggar hukum, melainkan sedang berjuang untuk bertahan hidup di usia yang sudah tidak lagi memberi banyak pilihan.

Lalu muncul pertanyaan yang sering dilemparkan publik: di mana anak-anaknya?

Faktanya, berdasarkan berbagai pemberitaan, Kakek Masir tidak ingin menjadi beban bagi anak-anaknya, yang kondisi ekonominya sendiri juga jauh dari kata cukup. Pilihan pahit itu diambil demi menjaga martabat sebagai orang tua.

Sementara itu, bantuan sosial negara bagi lansia melalui berbagai program kesejahteraan memang telah tersedia sebagai bentuk kehadiran negara. Namun, dalam praktiknya, bantuan tersebut sering kali belum mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar hidup, terlebih bagi lansia yang hidup berdua tanpa penghasilan tetap. Realitas ini menunjukkan bahwa masih banyak lansia yang berada dalam posisi sangat rentan, meskipun secara normatif telah tercakup dalam skema perlindungan sosial.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membenarkan perbuatan melanggar hukum dengan alasan kemiskinan atau lansia. Perlindungan kawasan konservasi dan kelestarian alam tetaplah penting dan krusial. Namun perkara ini juga bukan upaya menggiring opini agar penegak hukum dicap kejam, melainkan ajakan untuk melihat persoalan secara lebih utuh.

Negara telah dengan tegas mengatur tujuan keberadaannya. Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum.

Lebih jauh, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Artinya, di tengah negara yang kaya sumber daya alam ini, tidak seharusnya ada warga negara yang terpaksa melanggar hukum demi memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.

Sumber: