MAY DAY : MENCEGAH JEMBER MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM PERBURUHAN

--
AWAM tidak banyak memahami. Bisa jadi kepala daerah dan DPRD belum mengerti. Jember tengah menjadi atensi nasional. Mendesak dilakukan kebijakan formal. Dengan harapan Jember selamat dari pelanggaran hukum yang fatal. Tidak terjebak dalam delik perbuatan melawan hukum yang dilakukan penguasa (onrechtmatige overheidsdaad). Terutama di bidang perburuhan.
Perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum. Perbuatan dalam hal ini dapat berkonotasi aktif maupun pasif (tidak melakukan). Baik dalam ranah pidana, perdata maupun hukum administrasi. Penguasa dalam konteks ini adalah subjek pelaku, yakni otoritas atributif pelayan publik. Diemban dan dilaksanakan oleh pejabat administrasi negara di daerah setempat. Secara hukum tentu bisa digugat atau dituntut di pengadilan.
Dengan kata lain, jika Pemkab Jember tidak melakukan tindakan atas apa yang menjadi kewajiban hukumnya dan dirasa merugikan hak konstitusional buruh maka kenyataan demikian masuk kategori perbuatan melawan hukum perburuhan. Potensi sengketa sangat terbuka menjadi realita. Kemungkinan muncul gugatan tak terhindarkan. Tergugatnya adalah pejabat Pemkab Jember (Pasal 1 angka 2 - Perma No.2 Tahun 2019). Sedangkan penggugatnya adalah buruh / organisasi serikat buruh dan atau pengusaha / organisasi pengusaha.
Secara normatif Pemkab Jember dapat dikategorikan telah memenuhi unsur onrechtmatige overheidsdaad. Mengapa ? Karena selama ini telah melakukan pembiaran atas terjadinya kekosongan Mediator Hubungan Industrial pada Disnaker setempat. Pembiaran adalah perbuatan melawan hukum karena tidak melakukan tindakan administrasi. Tindakan administrasi menurut UU No.30 Tahun 2014 – Pasal 1 angka (8) dirumuskan sebagai perbuatan pejabat pemerintahan untuk melakukan dan / atau tidak melakukan perbuatan konkrit dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam ranah penyelesaian perselisihan hubungan industrial, keberadaan Mediator memiliki arti penting sebagai penentu. Semua jenis perselisihan (hak, kepentingan, PHK dan perselisihan antar serikat buruh) sebelum diajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial wajib berproses dalam tahapan mediasi sebagai salah satu opsi non litigasi. Jika tidak, pengadilan akan menolak gugatan yang diajukan. Upaya hukum ini merupakan perintah UU No.2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Dijabarkan lebih lanjut dalam Permenakertrans No.17 Tahun 2014, terutama pada Pasal 11.
Terdapat sekitar 700 hingga 800 perusahaan di kabupaten Jember. Selama dua tahun terakhir, tidak mungkin nir-perselisihan. Selama terjadi kekosongan mediator, siapa yang menjalankan tugas mediasi ? Tidak semua pejabat di lingkungan pemerintah kabupaten dapat bertindak dengan kapasitas mediator. Permenakertrans No.17 Tahun 2014 secara rigid menentukan persyaratannya. Antara lain, menguasai peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan; bersertifikat dan sekurang-kurangnya satu tahun melakukan pendampingan penyelesaian perselihan. Mediator hubungan industrial tidak bisa diperoleh secara instan.
Problem hukumnya : Apa akibat hukum jika selama terjadi kekosongan, mediasi di lingkungan Disnaker Jember dilakukan oleh pejabat yang tidak memiliki kompetensi sebagai mediator hubungan industrial ? Apakah dokumen anjuran dari mediator yang tidak memiliki kompetensi dilampirkan dalam mengajukan gugatan ke pengadilan memiliki keabsahan ? Bagaimana status putusan pengadilan atas penggugat dan tergugat yang sudah final dan berkekuatan hukum tetap, sementara proses pemeriksaan tersebut menyimpangi aturan hukum yang diperintahkan peraturan perundang-undangan karena dokumen anjuran tidak sah ? Apakah para pihak yang berselisih dan menerima akibat hukum atas putusan pengadilan hubungan industrial dapat menggugat pejabat pemkab Jember ?
Sumber: