Manuver PDIP dan Pembangkangan Daerah Terhadap Rezim Prabowo

Moch Eksan adalah Pendiri Eksan Institute--
MANUVER Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri meminta agar kepala daerah dari kader partainya tak mengikuti retreat di Magelang 21-28 Februari 2025, merusak sistem otonomi daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sekurang-kurangnya, manuver ini menimbulkan disharmoni hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Manuver Bu Mega ini sudah pasti menimbulkan kekacauan sistem pemerintahan pusat dan daerah yang bersifat hirarkis. Dimana pemerintah daerah harus tunduk dan patuh pada pemerintah pusat, lepas dari latarbelakang partai politik yang dari pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang bersangkutan.
Yang harus digaris bawahi, pemerintah Prabowo Subianto bukan pemerintahan Partai Gerindra. Dan, pemerintahan propinsi dan kabupaten/kota yang berasal dari PDIP juga bukan pemerintahan PDIP.
Sejatinya, partai sekadar instrumen pemilu sampai rakyat menjatuhkan pilihan pada pasangan calon tertentu. Setelah itu, pasangan kepala daerah dan wakil kepada daerah itu merupakan pemerintahan rakyat dalam sistem demokrasi.
Barangkali Bu Mega lupa, sebuah ungkapan dari petuah agung dan luhur dari mantan presiden Amerika Serikat John F Kennedy, "My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins (loyalitas ku pada partai berakhir ketika loyalitas ku pada negara dimulai)".
Atau Bu Mega punya pandangan tersendiri, bahwa partai dan negara itu sama di depan hukum dan pemerintah. PDIP adalah negara dan negara adalah PDIP. Walau asumsi ini tak begitu meyakinkan secara signifikan, merupakan pandangan Bu Mega sendiri.
Mustahil rasanya, Bu Mega sebagai ketua umum partai demokrasi perjuangan menganut madzhab partai totaliter. Dimana partai bukan sekadar alat perjuangan tetapi tujuan perjuangan partai itu sendiri.
Presiden ke-5 ini seperti bakal menjadi ketua umum partai seumur hidup sebagai perwujudan doktrin demokrasi terpimpin Seokarno. Meski setiap lima tahun, mandat sebagai ketua umum diperbaharui. Ia pegang kendali PDIP tak kurang dari 32 tahun semenjak 1993 sampai dengan 2025.
Di bawah kepemimpinan Bu Mega, PDIP telah memenangkan 4 kali pemilu. Pertana pada Pileg 1999 dengan peroleh kursi sebanyak 153 kursi dari 550 kursi DPR RI. Partai berlambang banteng ini mendapatkan 35,6 juta atau menguasai 33,74 persen suara hasil pemilu nasional.
Kedua, PDIP merupakan partai pemenang pada Pileg 2014 dengan perolehan kursi 109 kursi dari 560 kursi DPR RI. Partai yang berideologi kiri tengah ini memperoleh suara sebanyak 23,6 juta dan menguasai 18,95 persen suara pemilu nasional.
Ketiga, partai yang merupakan fusi dari PNI dan partai nasionalis lain pada Pileg 2019 memperoleh kursi sebanyak 128 kursi dari 575 kursi DPR RI. Partai nasionalis sekuler ini mendapat 27 juta dan menguasai 19,33 persen suara hasil pemilu nasional.
Keempat, partai yang berdiri pada 10 Januari 1973 ini pada Pileg 2024 memperoleh kursi sebanyak 110 kursi dari 580 kursi DPR RI. Partai berideologi marhenisme ini memperoleh suara sebanyak 25,3 juta dan menguasai 16,7 persen suara hasil pemilu nasional.
Jadi, Bu Mega pada 3 pileg terakhir telah berhasil mencapai hattrick. Suatu keberhasilan partai memenangkan pileg tiga kali berturut-turut. Istilah ini sebenarnya istilah pertandingan sepakbola yang diadopsi dalam pertandingan politik. Prestasi pemilu dari Bu Mega ini yang menyulitkan PDIP mendapat alternatif kepemimpinan baru sebagai wujud regenerasi dan kaderisasi partai.
Instruksi Harian Ketua Umum Nomor 7294/IN/DPP/II/2025 tertanggal 20 Februari 2025 menimbulkan ambigusitas antara loyalitas pada sistem dan loyalitas pada partai. Di awal pemerintahannya,14 gubernur dan 247 bupati/walikota dari PDIP diuji kesetiannya. Padahal, negara dan partai tak perlu dipilih. Keduanya sama-sama penting dan memiliki tempat tersendiri di hati para kepala daerah tersebut.
Sumber: