Ketika Negara Berbicara tentang Ayah, Jangan Lupakan Anak

Ketika Negara Berbicara tentang Ayah, Jangan Lupakan Anak

Atik Kristiana, SH.MH adalah Pengacara LPBH NU --

Program Gerakan Ayah Mengambil Rapor yang digaungkan pemerintah pada dasarnya berangkat dari niat baik: mendorong keterlibatan ayah dalam pendidikan anak. Selama ini, peran pengasuhan dan pendampingan pendidikan kerap dibebankan hampir sepenuhnya kepada ibu. Maka, ajakan agar ayah hadir dalam momen penting anak tentu patut diapresiasi.

Namun dalam kebijakan publik, niat baik saja tidak cukup. Ia harus disertai kepekaan terhadap realitas sosial yang beragam. Di sinilah persoalan mulai muncul.

Surat edaran dan kampanye semacam ini masih terasa normatif dan berangkat dari asumsi keluarga ideal—ayah dan ibu hadir secara utuh, stabil secara ekonomi, dan selalu tersedia secara fisik. Padahal, realitas keluarga Indonesia jauh lebih kompleks dari satu wajah tersebut.

Realitas Keluarga Indonesia yang Beragam

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka perceraian di Indonesia terus mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Di sisi lain, jutaan anak Indonesia hidup dalam kondisi keluarga yang tidak sesuai dengan gambaran “ideal” kebijakan.

Ada anak yang ayahnya telah meninggal dunia.

Ada yang ayahnya harus merantau, menjadi buruh migran, pelaut, atau pekerja sektor informal lintas daerah.

Ada pula anak yang diasuh oleh ibu sebagai orang tua tunggal, atau oleh kakek-nenek dan wali lainnya.

Ketidakhadiran ayah secara fisik tidak selalu berarti absennya tanggung jawab, melainkan sering kali merupakan konsekuensi dari perjuangan ekonomi dan kondisi hidup yang tidak mudah. Keragaman struktur keluarga adalah fakta sosial, bukan penyimpangan.

Negara semestinya hadir untuk seluruh realitas ini, bukan hanya untuk satu model keluarga tertentu.

Anak Tidak Boleh Menjadi Korban Emosional Kebijakan

Momen pengambilan rapor seharusnya menjadi ruang yang aman dan membahagiakan bagi anak. Di sanalah usaha, proses belajar, dan kerja keras mereka diapresiasi. Rapor bukan sekadar angka, melainkan pengakuan atas perjalanan seorang anak.

Namun ketika negara terlalu menonjolkan satu figur secara eksklusif—tanpa narasi alternatif yang inklusif—ada risiko yang sering luput diperhitungkan: dampak psikologis pada anak.

Anak-anak yang tidak memiliki ayah yang hadir secara fisik bisa merasa berbeda, kurang, atau bahkan terpinggirkan. Bukan karena mereka gagal, tetapi karena kebijakan tidak memberi ruang bagi kondisi hidup mereka. Padahal, anak tidak pernah memilih dilahirkan dalam kondisi keluarga seperti apa.

Sumber: