SURAT TERBUKA UNTUK GUS FAWAIT DAN PAK JOKO : SELAMATKAN JEMBER

SURAT TERBUKA UNTUK GUS FAWAIT DAN PAK JOKO :  SELAMATKAN JEMBER

--

GUS Fawait dan Pak Joko

Dengan kapasitas akademisi, surat ini saya kirim. Tanpa pretensi transaksional, apalagi menyembunyikan kepentingan nominal. Surat ini sebatas narasi evaluasi karena salah satu tugas akademis melakukan analisis. Memberikan preskripsi, bukan puja puji. Tak terbesit bekerja untuk mengharap sesisir roti. Kritis bukan karena tak kebagian seiris bronis. Secara filsafati, akademisi dituntut menjaga jarak dengan kekuasaan. Bebas berekspresi dengan integritas profesionalnya. Mentransfer informasi dan mentransformasikan nilai. Baik diminta atau tidak. Kuasa dan kekuasaan dalam berbagai skala membutuhkan nalar sebagai asupan. Komitmen moral sebagai pedoman. Bukan asumsi  yang acapkali menjerumuskan diri.  

Sengaja si alamat saya tulis nama personal. Gus Fawait dan Pak Joko. Karena anda berdua adalah individu yang tengah mengemban jabatan sebagai Bupati dan Wakil Bupati. Gus Fawait dan Pak Joko adalah subjek hukum dalam tataran sebagai manusia. Punya rasa lapar dan haus. Melekat nafsu dan menyimpan keinginan. Adakalanya berkawan. Saat tertentu berseberangan. Wajar dan Manusiawi.  

 

Gus Fawait dan Pak Joko

Secara normatif konstitusional, keberadaan wakil kepala daerah bukanlah ‘timun wungkuk jogo imbuh’. Semacam ban sereb. Pengaturan wakil kepala daerah pasca kemerdekaan telah ada sejak UU No. 18 Tahun 1965 hingga sekarang. Secara eksplisit UUD NRI Tahun 1945 memang hanya menyebut ‘kepala daerah’. Namun dalam risalah naskah komprehensif amandemen Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 telah disepakati bahwa kepala daerah sudah termasuk wakil kepala daerah. Bahkan Pasal 18 ayat (7) UUD NRI Tahun 1945 memerintahkan untuk membentuk UU berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Di dalamnya  juga mengatur tugas, fungsi, dan kewenangan wakil kepala daerah. Dengan kata lain, eksistensi wakil kepala daerah ibarat sebutan kata “orangtua”. Di dalamnya tentu  sudah termasuk “Ayah dan Ibu”. Begitu juga dengan “kepala daerah” . Hal itu sudah termasuk antara “kepala daerah dan wakil kepala daerah”. Bupati dan Wakil Bupati sebagai kesatuan. 

 

Gus Fawait dan Pak Joko

Bupati dan Wakil Bupati Jember merupakan refleksi dua individu. Istimewa sebagai pasangan yang seharusnya dahsyat. Gus Fawait dengan vigur tokoh muda, cerdas, multi talenta dan berpengalaman dalam dinamika politik. Sementara Pak Joko merupakan mantan birokrat senior. Sarat asam garam, fokus, cermat,  kalkulatif, simbol kearifan dan intelektual. Hanya sayang keduanya tengah diuji dalam masa transisi. Totalitas sinergi masih berproses menuju Jember Maju – Jember Baru (Jembaru) meskipun hingga kini warga Jember belum tahu hakikat makna kredo ‘maju dan baru’ itu. Seratus hari dan pasca seratus hari, headline media masih mengangkat opini potret seputar friksi.  

 

Gus Fawait dan Pak Joko

‘Jember Gelap’. Demikian dilansir para aktifis perempuan yang menggugat rencana peleburan DP3AKB Jember. ‘Jember Tidak Baik-Baik Saja’, ‘Jember Pecah Kongsi’, ‘Jember Disharmoni’. Ujaran semacam itu terus berkembang mengikuti dinamika konteks selama Gus Fawait dan Pak Joko tidak menyudahi friksi. Disharmoni keduanya adalah fakta. Menyita energi dalam melakukan tata kelola daerah. Mengundang multi persepsi. Mencipta garis sekat Aku-Engkau. Bukan KITA sebagai nakoda penentu arah Jember hendak ke mana. Penyangkalan masing-masing untuk menepis fakta sesungguhnya merupakan penegasan realitas friksi sebagai bukti. 

 

Gus Fawait dan Pak Joko

Sumber: